Sejarah Jawa Timur
Jawa Timur merupakan satu dari delapan daerah propinsi tertua dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Pembentukan propinsi tersebut berlangsung hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, yaitu ketika pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia — atau Panitia Kemerdekaan — memutuskan untuk membagi wilayah Republik Indonesia menjadi delapan propinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur. Sekalipun pelantikan para gubernur di delapan propinsi itu bukan dilakukan pada tanggal 5 September 1945.
Kedelapan propinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku. Propinsi Jawa Timur beribukotakan Surabaya dengan gubernurnya yang pertama R.M.T.A. Surjo.
Proses pembentukan pemerintah daerah Keresidenan Surabaya dapat digambarkan sebagai berikut: Setelah Pemerintah Pusat RI di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1945 menginstruksikan agar daerah-daerah di seluruh Indonesia segera mendirikan Komite Nasional Indonesia (KNI), warga kota Surabaya — dimotori oleh Angkatan Muda — pada tanggal 28 Agustus membentuk KNI Daerah Surabaya
Hingga sekarang masih ada teka-teki yang belum terjawab secara pasti tentang kelahiran pemerintahan daerah propinsi RI di Jawa Timur dan pemerintahan daerah RI di Surabaya. Sebab belum dijumpai data yang pasti tentang tanggal dan bulan terbentuknya pemerintah daerah propinsi RI Jawa Timur. Sementara peristiwa terbetuknya pemerintah daerah Keresidenan Surabaya tercatat dengan jelas 3 September 1945
Dalam sejarah pertumbuhan pemerintah RI di Jawa Timur, Surabaya merupakan kota yang pertama kali mencatat riwayat sebagai pusat pemerintahan daerah yang dapat menjalankan perannya baik ke dalam maupun ke luar. Ketika pemerintah daerah RI di Surabaya sedang mengonsolidasikan usaha-usaha pemerintahan ke dalam, banyak persoalan dengan bala tentara Jepang yang harus diselesaikan dengan jalan perundingan. Hal serupa juga harus dihadapi dengan wakil-wakil tentara Sekutu.
Maka sekitar dua pekan setelah Proklamasi Kemerdekan Surabaya telah memiliki pemerintahan daerah sendiri dengan residennya yang pertama R. Soedirman. Bersamaan dengan itu di- bentuk pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) di bawah pimpinan Sungkono, Dr. Mustopo, Muhammad Yonosewoyo dan beberapa tokoh lainnya. Angkatan Lautnya dipimpin oleh Atmadji
Pembentukan pemerintahan daerah Keresidenan Surabaya itu menimbulkan sengketa dengan pihak Jepang yang beranggotakan 32 orang dan dipimpin oleh Cak Doel Arnowo, Bambang Suparto dan Dwidjosewojo, ma- sing-masing sebagai ketua I, II, dan III.
Kendati pada waktu itu sudah terbentuk KNI Daerah Surabaya, Keresidenan Surabaya masih belum memiliki alat kekuasaan atau pemerintahan daerah RI. Segala sesuatunya masih dipegang oleh penguasa pendudukan Jepang dengan berbagai peraturan militernya. Melihat kenyataan itu beberapa tokoh KNI Daerah Surabaya, termasuk Doel Arnowo, Dr. Angka Nitisastro, Mr. Dwidjosewojo, dan S. Hardjadinata, mengadakan pertemuan di bekas Kantor BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang terletak di Juliana Buolevard (kini Jalan Cendana) Surabaya. Pertemuan tersebut memutuskan untuk membentuk pemerintahan daerah, sesuai bunyi Proklamasi Kemerdekaan, guna menggantikan kedudukan Syuucokna Jepang dengan seorang residen Indonesia.
Dengan demikian, secara resmi pemerintah daerah Propinsi Jawa Timur baru dapat memulai kegiatannya setelah Gubernur R.M.T.A Surjo tiba di Kota Surabaya pada tanggal 12 Oktober 1945. Dengan cepat dia menyusun staf gubernur yang antara lain terdiri dari Cak Doel Arnowo, Ruslan Abdul Gani, Mr. Dwidjosewoyo, Bambang
Sebab setelah menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu, pihak militer Jepang harus tetap memegang kekuasaan sampai Sekutu datang. Jepang dilarang menyerahkan kekuasaan dan persenjataannya kepada siapa pun, kecuali kepada Sekutu. Dengan kata lain Indonesia merupakan “barang mati” yang harus dikembalikan kepada pemiliknya lama: Belanda. Akibatnya, pertempuran antara tentara Jepang dan arek-arek Suroboyo, yang berusaha merebut persenjataan dari tangan Jepang, tidak terhindarkan.
Dalam situasi seperti itu pada tanggal 12 Oktober 1945 datang RMTA Surjo di kota Surabaya untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Jawa Timur. Sebetulnya dia baru dilantik Pemerintah Pusat sebagai gubernur pada tanggal 5 September. Namun ketika itu Surjo masih disibukkan pembentukan pemerintahan daerah Keresidenan Bojonegoro, di mana dia menjadi residennya. Dia meletakkan jabatan tersebut pada tanggal 11 Oktober untuk memangku jabatan baru sebagai Gubernur Jawa Timur.Suparto, dan beberapa tokoh lainnya.
Tetapi sama seperti pemerintahan propinsi-propinsi lainnya, pemerintahan Propinsi Jawa Timur juga tidak dapat berjalan lancar karena timbulnya pergolakan-pergolakan mempertahankan kemerdekaan. Kedatangan kembali pasukan Belanda dan pejabat-pejabat Netherland Indies Civil Administration (NICA) dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu membuat keadaan cepat panas dan genting karena Belanda berusaha merongrong dan menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia yang baru saja lahir.
Hiruk-pikuk kegembiraan menyambut Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan cepat berubah menjadi suasana persiapan perang begitu pasukan Sekutu merapat di pantai Surabaya pada bulan September. Para tokoh Jawa Timur mencium kehadiran pasukan Belanda dan pejabat- pejabat NICA di belakang tentara Sekutu untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan militer Jepang yang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu menyusul penghancuran Nagasaki dan Hirosima dengan bom atom.
Apa yang dikhawatirkan oleh para pemimpin pemerintahan nasional Propinsi Jawa Timur menjadi kenyataan ketika Gubernur R.M.T.A. Surjo, yang sedang mengadakan rapat di Guber- nuran pada tanggal 25 Oktober 1945, didatangi oleh dua perwira Inggris utus- an Brigjen AWS Mallaby. Mereka memaksa gubernur menghadap ke kapal perang Sekutu, yang saat itu berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, Suraba- ya. Sudah barang tentu permintaan ini ditolak tegas. Penolakan ini ternyata kemudian berkelanjutan dengan pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda/NICA dengan maksud untuk merebut kekuasaan di kota Surabaya. Keadaan inilah yang kemudian membakar pecahnya perang besar 10 November 1945 di Surabaya — suatu peristiwa yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pada pagi hari itu pasukan Sekutu, yang diwakili Inggris, dengan peralatan lengkap, tank dan mortir dan didukung pula oleh pesawat-pesawat udara menyerang kota Surabaya. Pertempuran besar-besaran yang melanda kota Surabaya memaksa Gubernur Suryo, atas saran Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk memindahkan kedudukan pemerintahan daerah ke Mojokerto.
Selama pusat pemerintahan daerah berada di Malang terjadi mutasi di kalangan pejabat pemerintah daerah setempat. Gubernur Surjo diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta dan sebagai penggantinya ditunjuk R.P. Suroso. Tetapi penunjukan ini ternyata menimbulkan reaksi yang keras, sehingga kemudian Pemerintah RI menetapkan Dr. Moer- djani pada bulan Juni 1947 untuk menggantikan Suroso. Sementara pertempuran-pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan terus berlangsung, Pemerintah Daerah Jawa Timur terus mengadakan konsolidasi dan pembenahan admi nistrasi pemerintahan. Namun berhubung keadaan di wilayah Kediri semakin mencekam, kedudukan pemerintah daerah terpaksa dipindahkan lagi ke kota Malang pada bulan Februari 1947. Di kota ini pulalah dari tanggal 25 Februari sampai 6 Maret 1947 diselenggarakan Sidang Pleno ke-5 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di gedung yang sekarang ini dikenal dengan Gedung Sarinah.
Persidangan KNIP tersebut ternyata banyak menarik perhatian dunia luar dandiikuti pula oleh banyak tamu dan wartawan-wartawan luar negeri. Persidangan itu pulalah yang menentukan nasib diterima-tidaknya naskah Persetujuan Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 15 Februari 1947 oleh KNIP. Berdasarkan keputus- an sidang pleno itulah maka pada tanggal 25 Maret 1947 Persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda. Situasi yang semakin gawat menyebabkan seminggu kemudian yaitu pada tanggal 17 November 1945, kedudukan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur dipindahkan lagi ke Kediri.
Sementara itu Belanda yang menyadari bahwa untuk mengembalikan penguasaannya atas Indonesia seperti sebelum perang (Perang Dunia II) tidak mungkin sama sekali, mencetuskan gagasan untuk membentuk “Negara Indonesia Serikat.” Gagasan tersebut mulai dibicarakan oleh Gubernur Jenderal Belanda H.J. van Mook pada Konferensi Malino, sebuah kota kecil di tenggara Makassar (Ujungpandang) pada bulan April 1946. Kemudian gagasan -ini lebih dipertegas lagi dalam Konferensi Denpasar tanggal 24-28 Desember 1946 Dalam Konferensi Denpasar inilah Belanda membentuk “Negara Indonesia Timur” (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. Sesudah Konferensi Denpasar, Belanda semakin meningkatkan gerakannya membentuk negara-negara baru di seluruh Indonesia. Selain itu untuk memperlemah kedudukan Negara Republik Indonesia yang pada masa itu sudah pindah ke Yogyakarta, Belanda dengan cepat mengadakan gerakan-gerakan militer. Maka belum lagi dua bulan pemerintahan Gubernur Dr. Moerdjani berjalan, Belanda mengerahkan kekuatan militernya secara besar-besaran pada pukul 24.00, 21 Juli 1947, yang dikenal dengan “Aksi Militer I.” Padahal ketika itu Belanda masih terikat dengan Persetujuan Linggarjati dan perjanjian gen catan senjata yang berlaku sejak tanggal 14 Oktober 1946. Namun sebelum Aksi Militer I Belanda memang telah melanggar persetujuan gencatan dengan menyerbu dan menduduki Krian, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Dalam aksi militer tersebut dengan cepat pasukan-pasukan Belanda berhasil menduduki kota-kota besar dan daerah-daerah RI yang penting. Di daerah-daerah yang sudah dikuasainya itu Belanda bergegas mempersiapkan pembentukan negara-negara seperti NIT. Aksi militer Belanda menyebabkan kota Malang sudah tidak aman lagi sehingga Pemerintahan Daerah Propinsi Jawa Timur dipindahkan lagi ke kota Blitar. Aksi Militer I berakhir setelah dicapai Persetujuan Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Tetapi sebagai akibat dari persetujuan itu kekuasaan Pemerintah Daerah Jawa Timur semakin sempit, yaitu hanya meliputi Keresidenan Madiun, Kediri, Bojonegoro serta sebagian Keresidenan Surabaya dan Malang. Pasukan-pasukan RI yang berada di daerah kekuasaan Belanda harus hijrah ke daerah Republik Indonesia..
Di daerah-daerah yang dikuasainya, Belanda seperti telah direncanakannya segera membentuk negara-negara baru seperti “Negara Madura” pada 20 Februari 1948 dan “Negara Jawa Timur” tanggal 26 November 1948. Keberadaan negara-negara boneka ini juga merupakan pengepungan terhadap wilayah Republik Indonesia. Namun dalam keadaan yang serba sulit itu pemerintah Republik Indonesia masih harus berhadapan pula dengan pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang tak terduga ini dalam waktu yang relatif singkat dapat ditumpas oleh Tentara Republik Indonesia (TNI). KolonelSungkono ditetapkan sebagai Komandan dan Gubernur Militer Jawa Timur. Tetapi sebagai akibat pemberontakan ini kedudukan Republik Indonesia yang sudah lemah menjadi semakin lemah lagi. Situasi ini digunakan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk meruntuhkan RI dengan melancarkan Aksi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta diserang dan diduduki. Belanda menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan RI Di daerah Jawa Timur sendiri aksi militer yang kedua kalinya ini segera membawa perubahan pada roda pemerintahan daerah, karena kota Blitar yang saat itu menjadi kedudukan pemerintahan propinsi diserbu dan diduduki Belanda tanggal 21 Desember 1948. Karena itu Gubernur Dr. Moerdjani dan staf terpaksa menyingkir dan bergerilya di lereng Gunung Willis. Dari sana dia melanjutkan pemerintahan bersama-sama Gubernur Militer Kolonel Sungkono.
Tetapi lereng Gunung Willis juga tak luput dari serbuan Belanda. Pada tanggal 24 Februari 1949, kedudukan pemerintah daerah diserang dan Belanda menangkap Gubernur Moerdjani dan Wagub Doel Arnowo serta beberapa pejabat pemerintah daerah lainnya. Mereka kemudian dibawa ke Surabaya dan ditahan di Hotel Sarkies. Dalam peristiwa terpisah, Menteri Pembangunan dan Pemuda RI Supeno gugur ditembak oleh pasukan Belanda di Desa Ganter, Nganjuk. Untuk mengatasi keadaan maka Gubernur Militer Jawa Timur Kolonel Sungkono menugaskan Wakil Gubernur Jawa Timur Samadikun meneruskan perjuangan dari daerah Blitar Selatan (Lodoyo) bersama-sama dengan Bupati Blitar Darmadi.
Aksi Militer II Belanda berakhir dengan tercapainya Persetujuan Roem- Royen tanggal 7 Mei 1949 yang isinya antara lain mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden RI ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Sebagai kelanjutan dari R-R Statements itu, maka dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, di Denhaag diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan Piagam Pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Kerajaan Belanda. Di Amsterdam pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan oleh Ratu Juliana kepada Wakil RIS Mohammad Hatta, dan di Jakarta dilakukan antara Wakil Tinggi Mahkota „ Belanda Dr. Lovink kepada Wakil RIS Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 27 Desember 1949.
Segera sesudah keputusan KMB ditandatangani pada tanggal 2 November 1949, di seluruh Indonesia —termasuk di daerah Jawa Timur— berlangsung peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Pemerintah RIS. Pada tanggal 15 November 1949 berlangsung pengembalian daerah Madiun, lalu disusul dengan pengembalian daerah Bojonegoro tiga hari berikutnya. Selanjutnya pasukan Belanda ditarik dari Kediri. Kejadian itu diikuti dengan tindakan Gubernur Militer Kolonel Sung- kono dan Gubernur Samadikun memasuki kota Surabaya tanggal 24 Desember 1949 untuk melanjutkan pemerintahan daerah Republik Indonesia Serikat dalam masa peralihan Dengan berpindahnya kekuasaan dari tangan pemerintah Belanda ke tangan Pemerintah RIS, mulailah terasa adanya perbedaan dalam soal kebebasan rakyat. Keinginan rakyat untuk menyatakan pendapat yang sewajarnya mulai dapat terwujud.. Dalam tempo singkat rakyat di seluruh Jawa Timur dengan tegas menuntut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Aspirasi yang sudah lama dipendam itu akhirnya meletus dengan hebat. Beratus-ratus mosi dan resolusi dikeluarkan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mendesak kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dilikuidasi dan dilebur ke dalam Republik Indonesia.
Kehadiran Negara Jawa Timur sudah tak dapat dipertahankan lagi. Karena itu pada tanggal 13 Januari 1950 Wali Negara Jawa Timur mengajukan permintaan kepada Pemerintah RIS supaya menyelenggarakan pemerintahan Negara Jawa Timur. Sebagai kelanjutannya maka pada tanggal 19 Januari 1950 Wali Negara Jawa Timur menyerahkan mandatnya kepada Pemerintah RIS. Selanjutnya pada tanggal 25 Februari 1950 dalam resolusi bersama yang diambil oleh DPR Negara Jawa Timur dan Pemerintah Negara Jawa Timur diputuskan bahwa mulai hari itu daerah Negara Jawa Timur secara resmi dinyatakan sebagai bagian wilayah negara Republik Indonesia Perkembangan di Jawa Timur menjadi pendorong yang amat kuat bagi rakyat “Negara Madura” untuk menuntut pembubaran negara itu. Setelah mengalami pergolakan-pergolakan politik yang cukup keras, maka pada tanggal 28 Januari 1950 Wali Negara Madura menyerahkan kekuasaannya kepada DPR Madura Sebagai kelanjutannya maka satu bulan kemudian pejabat wali negara melaporkan situasi di Madura kepada Pemerintah RI di Yogyakarta dan memohonkan keputusan bahwa Madura sudah menjadi wilayah RI. Tetapi karena Surat Keputusan tidak segera diterima, pada tanggal ,4 Maret 1950 dikirim delegasi menemui Gubernur Jawa Timur, yang melahirkan surat ke- putusan Gubernur Jawa Timur No. 24/ A/50 tanggal 7 Maret 1950 dan kemudian Surat Keputusan Presiden RIS nomor 110 tanggal 9 Maret 1950 yang menetapkan Madura sebagai daerah keresidenan Republik Indonesia.
Namun sebelumnya, pada tanggal 4 Maret 1950 Pemerintah Pusat menetapkan pembentukan Propinsi Jawa Timur dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 1950. Berdasarkan UU tersebut, wilayah Propinsi Jawa Timur meliputi tujuh keresidenan — Surabaya, Malang, Besuki, Kediri, Madiun, Bojonegoro, dan Madura — 29 kabupaten, 8 kota besar/kecil, 138 kewedanaan, 514 kecamatan dan 8.306 kelurahan, dengan jumlah penduduk seluruhnya 18.027.303 jiwa. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintahan Gubernur Militer Jawa Timur dihapuskan sesuai dengan Perintah Kepala Staf AD tanggal 30 Juni 1950 Nomor 338/KSAD/I.H. 50 dan Instruksi No. 48/KSAD/Inst. 50 Inte- rad tanggal 24 Juli 1950. Kemudian diterbitkan pula Surat Keputusan Menteri
Pertahanan tanggal 1 Agustus 1950 No. 357/MP/50. Maka pada tanggal 7 September 1950 diadakan serah terima antara Pejabat Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng kepada Gu bernur Jawa Timur R. Samadikun, yang menduduki jabatan tersebut sampai tahun 1957. Pada masa peralihan itu pemerintah sipil di bawah kepemimpinan Gubernur Samadikun menghadapi persoalan keamanan yang tidak ringan. Gangguan keamanan yang paling serius datang dari kelompok Abdul Malik, bekas lurah Tromposari, Kecamatan, Jabon, Sidoarjo. Dia memimpin pemberontakan melawan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur yang dalam sejarah militer terkenal dengan sebutan “Palagan Ambarawa.” Pemberontakan ini dinyatakan tamat riwayatnya pada bulan Agustus 1951, empat bulan Malik ditangkap bersama tujuh pengikutnya di Bangil dalam operasi pembersihan yang terkenal dengan nama “Operasi Merdeka Ter (teritorium) V.”
Penyelesaian masalah keamanan ternyata tidak menjamin lancarnya roda pemerintahan di daerah. Sebab pada waktu masih terjadi dualisme dalam sistem pemerintahan daerah. Di satu pihak ada pemerintahan pamong praja yang bergerak di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan dipimpin oleh kepala pemerintahan pamong praja. Di lain pihak ada pemerintahan daerah swatantra yang bergerak di bidang urusan rumah tangga daerah sendiri yang dalam hal ini dijalankan oleh DPRD dan DPD yang diketuai oleh kepala daerah. Akibatnya di Jawa Timur sampai ada Gubernur Samadikun sebagai kepala pemerintahan pamong praja, juga ada R.T.A. Mi- lono sebagai kepala daerah swatantra tingkat I Jawa Timur. Dualisme tersebut berlangsung sampai diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Pemerintahan Umum Pusat kepada Daerah. Ketika UU ini diberlakukan, Jawa Timur dipimpin oleh Gubernur R. Suwondo Ranuwidjojo sebagai pengganti Gubernur Milono (1957-1959).
Pada tahun 1963 Jawa Timur mencatat pergantian gubernur dari Suwondo Ranuwidjojo kepada Mohammad Wijono. Ketika itu penyelenggaraan pemerintahan di daerah masih belum stabil berhubung masih dalam tahap penyempurnaan melalui berbagai per- undang-undangan. Di samping itu Partai Komunis Indonesia mulai meningkatkan agitasinya yang mencapai klimaksnya dengan peristiwa G-30-S/ PKI pada tahun 1965. Keadaan pemerintahan daerah di Jawa Timur menjadi semakin tidak menentu sesudah peristiwa G-30-S/PKI. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya sejumlah aparat pemerintahan daerah dan anggota DPRD yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut. Akibatnya sejumlah jabatan dalam pemerintahan daerah menjadi kosong. Pada tahun 1967 terjadi pergantian di pucuk pemerintahan. Brigjen Mohammad Wijono sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I digantikan oleh R.P. Mohammad Noer sebagai Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, yang dari tahun 1971 hingga tahun 1976 menjadi gubernur definitif Ketika Mohammad Noer menjadi Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah, situasi keamanan di daerah Jawa Timur diguncang oleh “PKI Gaya Baru” yang memiliki basis pertahanannya di Blitar Selatan.
Setelah aksi pengacauan PKI Gaya Baru ini berhasil ditumpas menjelang akhir tahun 1968, barulah keadaan membaik. Bersamaan dengan dicanangkannya Repelita I oleh pemerintah Orde Baru, Jawa Timur mulai mengisi lem- baran-lembaran sejarahnya dengan pembangunan di segala bidang. Bahkan berkat prestasinya di bidang pembangunan, Jawa Timur tampil sebagai satu-satunya propinsi di Tanah Air yang pertama kali dianugerahi Pataka Parasamnya Purnakarya Nugraha oleh Pemerintah Pusat. Jika Jawa Timur dikenal sebagai daerah yang paling ” kaya” dengan gejolak, hal ini tampaknya menunjukkan dinamisme yang dimiliki oleh masyarakatnya. Setelah Gubernur Mohammad Noer digantikan oleh Soenandar Prijosoedarmo (1976-1983), dan selanjutnya Wahono (1983-1988), lalu Sularso (1988-sekarang), Jawa Timur tetap tampil sebagai salah satu propinsi yang mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi. Dan prestasi ini terbukti dalam kemampuannya meraih penghargaan paling terhormat di bidang pembangunan tersebut empat kali berturut-turut, dari Pelita I sampai Pelita IV.
0 komentar:
Posting Komentar