Rabu, 19 September 2018

SEJARAH JAWA TIMUR

Sejarah Jawa Timur

 Hasil gambar untuk GAMBAR JAWA TIMUR

Jawa Timur merupakan satu dari delapan daerah propinsi tertua dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Pembentukan propinsi tersebut berlangsung hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, yaitu ketika pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia — atau Panitia Kemerdekaan — memutuskan untuk membagi wilayah Republik Indonesia menjadi delapan propinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur. Sekalipun pelantikan para gubernur di delapan propinsi itu bukan dilakukan pada tanggal 5 September 1945.
Kedelapan propinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku. Propinsi Jawa Timur beribukotakan Surabaya dengan gubernurnya yang pertama R.M.T.A. Surjo.
Proses pembentukan pemerintah daerah Keresidenan Surabaya dapat digambarkan sebagai berikut: Setelah Pemerintah Pusat RI di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1945 mengin­struksikan agar daerah-daerah di selu­ruh Indonesia segera mendirikan Ko­mite Nasional Indonesia (KNI), warga kota Surabaya — dimotori oleh Ang­katan Muda — pada tanggal 28 Agus­tus membentuk KNI Daerah Surabaya
Hingga sekarang masih ada te­ka-teki yang belum terjawab secara pas­ti tentang kelahiran pemerintahan daerah propinsi RI di Jawa Timur dan pemerintahan daerah RI di Surabaya. Sebab belum dijumpai data yang pasti tentang tanggal dan bulan terbentuk­nya pemerintah daerah propinsi RI Ja­wa Timur. Sementara peristiwa terbetuknya pemerintah daerah Keresidenan Surabaya tercatat dengan jelas 3 Sep­tember 1945
Dalam sejarah pertumbuhan pe­merintah RI di Jawa Timur, Surabaya merupakan kota yang pertama kali mencatat riwayat sebagai pusat peme­rintahan daerah yang dapat menja­lankan perannya baik ke dalam mau­pun ke luar. Ketika pemerintah daerah RI di Surabaya sedang mengonsoli­dasikan usaha-usaha pemerintahan ke dalam, banyak persoalan dengan bala tentara Jepang yang harus diselesaikan dengan jalan perundingan. Hal serupa juga harus dihadapi dengan wakil-wa­kil tentara Sekutu.
Maka sekitar dua pekan setelah Proklamasi Kemerdekan Surabaya telah memiliki pemerintahan daerah sendiri dengan residennya yang pertama R. Soedirman. Bersamaan dengan itu di- bentuk pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) di bawah pimpinan Sungkono, Dr. Mustopo, Muhammad Yonosewoyo dan beberapa tokoh lainnya. Angkatan Lautnya dipimpin oleh Atmadji
Pembentukan pemerintahan dae­rah Keresidenan Surabaya itu menim­bulkan sengketa dengan pihak Jepang yang beranggotakan 32 orang dan di­pimpin oleh Cak Doel Arnowo, Bambang Suparto dan Dwidjosewojo, ma- sing-masing sebagai ketua I, II, dan III.
Kendati pada waktu itu sudah ter­bentuk KNI Daerah Surabaya, Kere­sidenan Surabaya masih belum memi­liki alat kekuasaan atau pemerintahan daerah RI. Segala sesuatunya masih dipegang oleh penguasa pendudukan Jepang dengan berbagai peraturan mi­liternya. Melihat kenyataan itu bebera­pa tokoh KNI Daerah Surabaya, terma­suk Doel Arnowo, Dr. Angka Nitisastro, Mr. Dwidjosewojo, dan S. Hardjadinata, mengadakan pertemuan di bekas Kan­tor BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang terletak di Juliana Buolevard (kini Ja­lan Cendana) Surabaya. Pertemuan ter­sebut memutuskan untuk membentuk pemerintahan daerah, sesuai bunyi Proklamasi Kemerdekaan, guna meng­gantikan kedudukan Syuucokna Jepang dengan seorang residen Indonesia.
Dengan demikian, secara resmi pemerintah daerah Propinsi Jawa Timur baru dapat memulai kegiatannya se­telah Gubernur R.M.T.A Surjo tiba di Kota Surabaya pada tanggal 12 Okto­ber 1945. Dengan cepat dia menyusun staf gubernur yang antara lain terdiri dari Cak Doel Arnowo, Ruslan Abdul Gani, Mr. Dwidjosewoyo, Bambang
Sebab setelah menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu, pihak militer Jepang harus tetap memegang kekua­saan sampai Sekutu datang. Jepang dilarang menyerahkan kekuasaan dan persenjataannya kepada siapa pun, ke­cuali kepada Sekutu. Dengan kata lain Indonesia merupakan “barang mati” yang harus dikembalikan kepada pe­miliknya lama: Belanda. Akibatnya, pertempuran antara tentara Jepang dan arek-arek Suroboyo, yang berusaha me­rebut persenjataan dari tangan Jepang, tidak terhindarkan.
Dalam situasi seperti itu pada tanggal 12 Oktober 1945 datang RMTA Surjo di kota Surabaya untuk memang­ku jabatan sebagai Gubernur Jawa Ti­mur. Sebetulnya dia baru dilantik Pe­merintah Pusat sebagai gubernur pada tanggal 5 September. Namun ketika itu Surjo masih disibukkan pembentukan pemerintahan daerah Keresidenan Bo­jonegoro, di mana dia menjadi residen­nya. Dia meletakkan jabatan tersebut pada tanggal 11 Oktober untuk me­mangku jabatan baru sebagai Guber­nur Jawa Timur.Suparto, dan beberapa tokoh lainnya.
Tetapi sama seperti pemerintah­an propinsi-propinsi lainnya, pemerin­tahan Propinsi Jawa Timur juga tidak dapat berjalan lancar karena timbul­nya pergolakan-pergolakan memper­tahankan kemerdekaan. Kedatangan kembali pasukan Belanda dan peja­bat-pejabat Netherland Indies Civil Ad­ministration (NICA) dengan membon­ceng kedatangan tentara Sekutu mem­buat keadaan cepat panas dan genting karena Belanda berusaha merongrong dan menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia yang baru saja la­hir.
Hiruk-pikuk kegembiraan me­nyambut Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan cepat berubah menjadi suasana persiapan perang begitu pasukan Sekutu merapat di pan­tai Surabaya pada bulan September. Pa­ra tokoh Jawa Timur mencium keha­diran pasukan Belanda dan pejabat- pejabat NICA di belakang tentara Se­kutu untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan militer Jepang yang telah menyerah tanpa syarat kepada Seku­tu menyusul penghancuran Nagasaki dan Hirosima dengan bom atom.
Apa yang dikhawatirkan oleh para pemimpin pemerintahan nasional Pro­pinsi Jawa Timur menjadi kenyataan ketika Gubernur R.M.T.A. Surjo, yang sedang mengadakan rapat di Guber- nuran pada tanggal 25 Oktober 1945, didatangi oleh dua perwira Inggris utus- an Brigjen AWS Mallaby. Mereka me­maksa gubernur menghadap ke kapal perang Sekutu, yang saat itu berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, Suraba- ya. Sudah barang tentu permintaan ini ditolak tegas. Penolakan ini ternya­ta kemudian berkelanjutan dengan pendaratan pasukan Sekutu dan Be­landa/NICA dengan maksud untuk merebut kekuasaan di kota Surabaya. Keadaan inilah yang kemudian mem­bakar pecahnya perang besar 10 No­vember 1945 di Surabaya — suatu pe­ristiwa yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pada pagi hari itu pasukan Sekutu, yang diwakili Inggris, dengan peralat­an lengkap, tank dan mortir dan didu­kung pula oleh pesawat-pesawat uda­ra menyerang kota Surabaya. Per­tempuran besar-besaran yang melan­da kota Surabaya memaksa Gubernur Suryo, atas saran Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk memindahkan kedudukan pemerintahan daerah ke Mojokerto.
Selama pusat pemerintahan dae­rah berada di Malang terjadi mutasi di kalangan pejabat pemerintah daerah setempat. Gubernur Surjo diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta dan sebagai peng­gantinya ditunjuk R.P. Suroso. Tetapi penunjukan ini ternyata menimbulkan reaksi yang keras, sehingga kemudian Pemerintah RI menetapkan Dr. Moer- djani pada bulan Juni 1947 untuk meng­gantikan Suroso. Sementara pertempuran-pertem­puran untuk mempertahankan kemer­dekaan terus berlangsung, Pemerintah Daerah Jawa Timur terus mengadakan konsolidasi dan pembenahan admi nistrasi pemerintahan. Namun berhu­bung keadaan di wilayah Kediri sema­kin mencekam, kedudukan pemerintah daerah terpaksa dipindahkan lagi ke kota Malang pada bulan Februari 1947. Di kota ini pulalah dari tanggal 25 Februari sampai 6 Maret 1947 dise­lenggarakan Sidang Pleno ke-5 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di gedung yang sekarang ini dikenal de­ngan Gedung Sarinah.
Persidangan KNIP tersebut ter­nyata banyak menarik perhatian du­nia luar dandiikuti pula oleh banyak ta­mu dan wartawan-wartawan luar ne­geri. Persidangan itu pulalah yang me­nentukan nasib diterima-tidaknya nas­kah Persetujuan Linggarjati yang di­tandatangani pada tanggal 15 Februari 1947 oleh KNIP. Berdasarkan keputus- an sidang pleno itulah maka pada tanggal 25 Maret 1947 Persetujuan Ling­garjati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda. Situasi yang semakin gawat me­nyebabkan seminggu kemudian yaitu pada tanggal 17 November 1945, kedu­dukan Pemerintah Daerah Propinsi Ja­wa Timur dipindahkan lagi ke Kediri.
Sementara itu Belanda yang me­nyadari bahwa untuk mengembalikan penguasaannya atas Indonesia seperti sebelum perang (Perang Dunia II) tidak mungkin sama sekali, mencetuskan gagasan untuk membentuk “Negara Indonesia Serikat.” Gagasan tersebut mulai dibicarakan oleh Gubernur Jen­deral Belanda H.J. van Mook pada Kon­ferensi Malino, sebuah kota kecil di tenggara Makassar (Ujungpandang) pada bulan April 1946. Kemudian ga­gasan -ini lebih dipertegas lagi dalam Konferensi Denpasar tanggal 24-28 De­sember 1946 Dalam Konferensi Denpasar ini­lah Belanda membentuk “Negara In­donesia Timur” (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. Sesudah Konferensi Denpasar, Belan­da semakin meningkatkan gerakannya membentuk negara-negara baru di se­luruh Indonesia. Selain itu untuk mem­perlemah kedudukan Negara Republik Indonesia yang pada masa itu sudah pindah ke Yogyakarta, Belanda dengan cepat mengadakan gerakan-gerakan militer. Maka belum lagi dua bulan peme­rintahan Gubernur Dr. Moerdjani ber­jalan, Belanda mengerahkan kekuatan militernya secara besar-besaran pada pukul 24.00, 21 Juli 1947, yang dikenal dengan “Aksi Militer I.” Padahal ketika itu Belanda masih terikat dengan Per­setujuan Linggarjati dan perjanjian gen­ catan senjata yang berlaku sejak tang­gal 14 Oktober 1946. Namun sebelum Aksi Militer I Belanda memang telah melanggar persetujuan gencatan de­ngan menyerbu dan menduduki Krian, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Dalam aksi militer tersebut de­ngan cepat pasukan-pasukan Belanda berhasil menduduki kota-kota besar dan daerah-daerah RI yang penting. Di daerah-daerah yang sudah dikuasainya itu Belanda bergegas mempersiapkan pembentukan negara-negara seperti NIT. Aksi militer Belanda menyebab­kan kota Malang sudah tidak aman la­gi sehingga Pemerintahan Daerah Pro­pinsi Jawa Timur dipindahkan lagi ke kota Blitar. Aksi Militer I berakhir setelah di­capai Persetujuan Renville pada tang­gal 17 Januari 1948. Tetapi sebagai aki­bat dari persetujuan itu kekuasaan Pe­merintah Daerah Jawa Timur semakin sempit, yaitu hanya meliputi Keresi­denan Madiun, Kediri, Bojonegoro ser­ta sebagian Keresidenan Surabaya dan Malang. Pasukan-pasukan RI yang ber­ada di daerah kekuasaan Belanda harus hijrah ke daerah Republik Indonesia..
Di daerah-daerah yang dikua­sainya, Belanda seperti telah direnca­nakannya segera membentuk nega­ra-negara baru seperti “Negara Madu­ra” pada 20 Februari 1948 dan “Negara Jawa Timur” tanggal 26 November 1948. Keberadaan negara-negara boneka ini juga merupakan pengepungan terhadap wilayah Republik Indonesia.  Namun dalam keadaan yang ser­ba sulit itu pemerintah Republik Indone­sia masih harus berhadapan pula de­ngan pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang tak terduga ini dalam waktu yang relatif singkat dapat ditumpas oleh Tentara Republik Indonesia (TNI). KolonelSungkono di­tetapkan sebagai Komandan dan Gu­bernur Militer Jawa Timur. Tetapi se­bagai akibat pemberontakan ini kedu­dukan Republik Indonesia yang sudah lemah menjadi semakin lemah lagi. Situasi ini digunakan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk meruntuhkan RI dengan melancarkan Aksi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Ibukota Republik Indonesia Yo­gyakarta diserang dan diduduki. Be­landa menawan Presiden Soekarno, Wa­kil Presiden Mohammad Hatta dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan RI Di daerah Jawa Timur sendiri aksi militer yang kedua kalinya ini segera membawa perubahan pada roda pe­merintahan daerah, karena kota Blitar yang saat itu menjadi kedudukan pe­merintahan propinsi diserbu dan di­duduki Belanda tanggal 21 Desember 1948. Karena itu Gubernur Dr. Moerdjani dan staf terpaksa menyingkir dan bergerilya di lereng Gunung Willis. Da­ri sana dia melanjutkan pemerintah­an bersama-sama Gubernur Militer Kolonel Sungkono.
Tetapi lereng Gunung Willis juga tak luput dari serbuan Belanda. Pada tanggal 24 Februari 1949, kedudukan pemerintah daerah diserang dan Belan­da menangkap Gubernur Moerdjani dan Wagub Doel Arnowo serta bebe­rapa pejabat pemerintah daerah lain­nya. Mereka kemudian dibawa ke Sura­baya dan ditahan di Hotel Sarkies. Da­lam peristiwa terpisah, Menteri Pem­bangunan dan Pemuda RI Supeno gu­gur ditembak oleh pasukan Belanda di Desa Ganter, Nganjuk. Untuk mengatasi keadaan maka Gubernur Militer Jawa Timur Kolonel Sungkono menugaskan Wakil Guber­nur Jawa Timur Samadikun mene­ruskan perjuangan dari daerah Blitar Selatan (Lodoyo) bersama-sama dengan Bupati Blitar Darmadi.
Aksi Militer II Belanda berakhir dengan tercapainya Persetujuan Roem- Royen tanggal 7 Mei 1949 yang isinya antara lain mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden RI ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Sebagai kelanjutan dari R-R State­ments itu, maka dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, di Denhaag diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan Piagam Pengakuan Kedaulatan Negara Repu­blik Indonesia Serikat (RIS) oleh Kera­jaan Belanda. Di Amsterdam pengaku­an kedaulatan tersebut dilaksanakan oleh Ratu Juliana kepada Wakil RIS Mohammad Hatta, dan di Jakarta di­lakukan antara Wakil Tinggi Mahkota „ Belanda Dr. Lovink kepada Wakil RIS Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 27 Desember 1949.
Segera sesudah keputusan KMB ditandatangani pada tanggal 2 Novem­ber 1949, di seluruh Indonesia —ter­masuk di daerah Jawa Timur— ber­langsung peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Pemerintah RIS. Pada tanggal 15 November 1949 berlangsung pengembalian daerah Madiun, lalu di­susul dengan pengembalian daerah Bo­jonegoro tiga hari berikutnya. Selan­jutnya pasukan Belanda ditarik dari Kediri. Kejadian itu diikuti dengan tin­dakan Gubernur Militer Kolonel Sung- kono dan Gubernur Samadikun mema­suki kota Surabaya tanggal 24 Desember 1949 untuk melanjutkan pemerintahan daerah Republik Indonesia Serikat da­lam masa peralihan Dengan berpindahnya kekuasaan dari tangan pemerintah Belanda ke ta­ngan Pemerintah RIS, mulailah terasa adanya perbedaan dalam soal kebe­basan rakyat. Keinginan rakyat untuk menyatakan pendapat yang sewajar­nya mulai dapat terwujud.. Dalam tempo singkat rakyat di se­luruh Jawa Timur dengan tegas menun­tut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Aspirasi yang sudah lama dipendam itu akhirnya meletus dengan hebat. Beratus-ratus mosi dan resolusi dike­luarkan oleh organisasi-organisasi ke­masyarakatan yang mendesak kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dilikuidasi dan di­lebur ke dalam Republik Indonesia.
Kehadiran Negara Jawa Timur su­dah tak dapat dipertahankan lagi. Ka­rena itu pada tanggal 13 Januari 1950 Wali Negara Jawa Timur mengajukan permintaan kepada Pemerintah RIS supaya menyelenggarakan pemerin­tahan Negara Jawa Timur. Sebagai ke­lanjutannya maka pada tanggal 19 Ja­nuari 1950 Wali Negara Jawa Timur menyerahkan mandatnya kepada Pemerintah RIS. Selanjutnya pada tang­gal 25 Februari 1950 dalam resolusi bersama yang diambil oleh DPR Negara Jawa Timur dan Pemerintah Negara Jawa Timur diputuskan bahwa mulai hari itu daerah Negara Jawa Timur se­cara resmi dinyatakan sebagai bagian wilayah negara Republik Indonesia Perkembangan di Jawa Timur menjadi pendorong yang amat kuat bagi rakyat “Negara Madura” untuk me­nuntut pembubaran negara itu. Setelah mengalami pergolakan-pergolakan po­litik yang cukup keras, maka pada tanggal 28 Januari 1950 Wali Negara Madura menyerahkan kekuasaannya kepada DPR Madura Sebagai kelanjutannya maka satu bulan kemudian pejabat wali negara melaporkan situasi di Madura kepada Pemerintah RI di Yogyakarta dan me­mohonkan keputusan bahwa Madura sudah menjadi wilayah RI. Tetapi ka­rena Surat Keputusan tidak segera diterima, pada tanggal ,4 Maret 1950 dikirim delegasi menemui Gubernur Jawa Timur, yang melahirkan surat ke- putusan Gubernur Jawa Timur No. 24/ A/50 tanggal 7 Maret 1950 dan ke­mudian Surat Keputusan Presiden RIS nomor 110 tanggal 9 Maret 1950 yang menetapkan Madura sebagai daerah keresidenan Republik Indonesia.
Namun sebelumnya, pada tanggal 4 Maret 1950 Pemerintah Pusat me­netapkan pembentukan Propinsi Jawa Timur dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 1950. Berdasarkan UU tersebut, wilayah Propinsi Jawa Timur meliputi tujuh keresidenan — Surabaya, Ma­lang, Besuki, Kediri, Madiun, Bojone­goro, dan Madura — 29 kabupaten, 8 kota besar/kecil, 138 kewedanaan, 514 kecamatan dan 8.306 kelurahan, de­ngan jumlah penduduk seluruhnya 18.027.303 jiwa. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintahan Gubernur Militer Jawa Timur dihapuskan sesuai dengan Pe­rintah Kepala Staf AD tanggal 30 Juni 1950 Nomor 338/KSAD/I.H. 50 dan Instruksi No. 48/KSAD/Inst. 50 Inte- rad tanggal 24 Juli 1950. Kemudian di­terbitkan pula Surat Keputusan Men­teri
Pertahanan tanggal 1 Agustus 1950 No. 357/MP/50. Maka pada tanggal 7 September 1950 diadakan serah te­rima antara Pejabat Gubernur Militer Kolonel Bambang  Sugeng kepada Gu bernur Jawa Timur R. Samadikun, yang menduduki jabatan tersebut sampai tahun 1957. Pada masa peralihan itu pemerin­tah sipil di bawah kepemimpinan Gu­bernur Samadikun menghadapi per­soalan keamanan yang tidak ringan. Gangguan keamanan yang paling seri­us datang dari kelompok Abdul Malik, bekas lurah Tromposari, Kecamatan, Jabon, Sidoarjo. Dia memimpin pem­berontakan melawan Pemerintah Dae­rah Propinsi Jawa Timur yang dalam sejarah militer terkenal dengan sebut­an “Palagan Ambarawa.” Pemberon­takan ini dinyatakan tamat riwayatnya pada bulan Agustus 1951, empat bulan Malik ditangkap bersama tujuh peng­ikutnya di Bangil dalam operasi pem­bersihan yang terkenal dengan nama “Operasi Merdeka Ter (teritorium) V.”
Penyelesaian masalah keamanan ternyata tidak menjamin lancarnya roda pemerintahan di daerah. Sebab pada waktu masih terjadi dualisme dalam sistem pemerintahan daerah. Di satu pihak ada pemerintahan pamong praja yang bergerak di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan dipimpin oleh kepala pemerintahan pamong praja. Di lain pihak ada pemerintahan daerah swatantra yang bergerak di bi­dang urusan rumah tangga daerah sendiri yang dalam hal ini dijalankan oleh DPRD dan DPD yang diketuai oleh kepala daerah. Akibatnya di Ja­wa Timur sampai ada Gubernur Samadikun sebagai kepala pemerintah­an pamong praja, juga ada R.T.A. Mi- lono sebagai kepala daerah swatantra tingkat I Jawa Timur. Dualisme tersebut berlangsung sampai diberlakukannya Undang-un­dang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pe­nyerahan Pemerintahan Umum Pusat kepada Daerah. Ketika UU ini diberla­kukan, Jawa Timur dipimpin oleh Gu­bernur R. Suwondo Ranuwidjojo se­bagai pengganti Gubernur Milono (1957-1959).
Pada tahun 1963 Jawa Timur men­catat pergantian gubernur dari Suwon­do Ranuwidjojo kepada Mohammad Wijono. Ketika itu penyelenggaraan pemerintahan di daerah masih belum stabil berhubung masih dalam tahap penyempurnaan melalui berbagai per- undang-undangan. Di samping itu Par­tai Komunis Indonesia mulai mening­katkan agitasinya yang mencapai kli­maksnya dengan peristiwa G-30-S/ PKI pada tahun 1965. Keadaan pemerintahan daerah di Jawa Timur menjadi semakin tidak me­nentu sesudah peristiwa G-30-S/PKI. Hal ini disebabkan antara lain oleh ada­nya sejumlah aparat pemerintahan daerah dan anggota DPRD yang secara langsung maupun tidak langsung ter­libat dalam peristiwa berdarah terse­but. Akibatnya sejumlah jabatan da­lam pemerintahan daerah menjadi ko­song. Pada tahun 1967 terjadi pergantian di pucuk pemerintahan. Brigjen Mo­hammad Wijono sebagai Gubernur Ke­pala Daerah Tingkat I digantikan oleh R.P. Mohammad Noer sebagai Pe­mangku Jabatan Gubernur Kepala Dae­rah Tingkat I, yang dari tahun 1971 hingga tahun 1976 menjadi gubernur definitif Ketika Mohammad Noer menjadi Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah, situasi keamanan di daerah Jawa Timur diguncang oleh “PKI Gaya Baru” yang memiliki basis pertahan­annya di Blitar Selatan.
Setelah aksi pengacauan PKI Gaya Baru ini berhasil ditumpas menjelang akhir tahun 1968, barulah keadaan membaik. Bersamaan dengan dicanang­kannya Repelita I oleh pemerintah Orde Baru, Jawa Timur mulai mengisi lem- baran-lembaran sejarahnya dengan pembangunan di segala bidang. Bah­kan berkat prestasinya di bidang pem­bangunan, Jawa Timur tampil sebagai satu-satunya propinsi di Tanah Air yang pertama kali dianugerahi Pataka Parasamnya Purnakarya Nugraha oleh Pe­merintah Pusat. Jika Jawa Timur dikenal sebagai daerah yang paling ” kaya” dengan gejo­lak, hal ini tampaknya menunjukkan dinamisme yang dimiliki oleh masya­rakatnya. Setelah Gubernur Moham­mad Noer digantikan oleh Soenandar Prijosoedarmo (1976-1983), dan selan­jutnya Wahono (1983-1988), lalu Sularso (1988-sekarang), Jawa Timur tetap tampil sebagai salah satu propinsi yang mencatat pertumbuhan ekonomi ter­tinggi. Dan prestasi ini terbukti dalam kemampuannya meraih penghargaan paling terhormat di bidang pemba­ngunan tersebut empat kali berturut-tu­rut, dari Pelita I sampai Pelita IV.

0 komentar:

Posting Komentar