Sungguh ketika telinga kita mendengar kata-kata ujian nasional,
maka yang pertama kali muncul di benak kita adalah les privat,
menyiasati rumus-rumus yang panjang, try out, menyontek, mencuri dan
menggondol soal Unas, bocoran soal Unas, polisi, lulus-tidak lulus dan
kisruh.
Semua yang tersebut diatas adalah gambaran-gambaran pendidikan kita. Gambaran-ganbaran out put generasi bangsa kita, bangsa Indonesia. Dikuatkan lagi dengan beberapa kericuhan yang terjadi pada waktu pra Unas maupun pada hari pelaksanaan Unas tingkat SMU tahun 2007 ini. Diantaranya, pencurian soal Unas oleh Kasek beserta rekan-rekannya, yang kesemuanya dari SMK PGRI 4 Ngawi (Surya, 21/4). Insiden tersebut semakin memperkeruh citra pendidikan kita. Bagaimana tidak, guru dan Kepala Sekolah yang seharusnya menjadi teladan dan panutan siswa, merencanakan dan melakukan pencurian soal Unas secara bersama-sama yang dimaksudkan untuk mengentaskan ketidaklulusan siswa.dan mengangkat nama baik sekolahnya tanpa dibarengi dengan esensi yang baik.
Pada kasus yang lain, pengroyokan oleh para siswa SMA 2 pasca Unas pada pengawasnya Sri Handayani dari SMA 1 Tanggul Jember (Jawa pos, 19/4). Kejadian ini dilatar belakangi oleh ketatnya penjagaan Unas oleh pengawas. Keketatan ekstra dalam pengawasan Unas ini memunculkan kekesalan siswa yang membuat mereka mengamuk dan memecahi kaca.
Sebenarnya yang dilakukan oleh Sri Handayani salah satu pengawas, sangat baik. Karena ia menjalankan tugas sesuai prosedur termasuk cara pembagian soal, absensi peserta Unas dan pengawasan yang sportif. Akan tetapi, dibalik kedisiplinan itu tidak dilandasi dengan jiwa yang ikhlas, melainkan karena persaingan ketat antara SMA 1 dan SMA 2 Tanggul sehingga guru SMA 1 mengawasi SMA 2 dengan berlebihan (Surya, 20/4). Bukan dari nurani seorang guru yang mencerdaskan, tapi malah melemahkan. Dan mungkin masih banyak kericuhan-kericuhan yang belum tercover dalam media.
Lantas yang menjadi tanda tanya besar bagi kita adalah “Apa yang salah?” sehingga setiap pelaksanaan Unas selalu ada catatan hitam kecurangan dan kericuhan di dalamnya. Jika kita analisa setidak-tidaknya terdapat empat penyebab ketidakberesan dalam menyambut dan pelaksanaan serta pasca Unas ini yang kesemuanya bersumber dari budaya kita sendiri.
Pertama, kurangnya kita dalam menghargai sebuah proses. Dengan maraknya les privat menyebabkan para siswa lebih menanggungkan pelajarannya pada les tersebut. Sehingga mereka sering menyepelekan proses belajar di sekolah selama tiga tahun. Tak jarang juga para guru privat mengajarkan pada siswa penyiasata rumus-rumus yang panjang hingga menjadi pendek dan mudah tanpa mengajarkan alur rumus sebenarnya. Hal ini menjadikan siswa lebih senang mengerjakan sesuatu dengan instan tanpa berusaha dan berkerja keras yang berpengaruh pada masa dewasa kelak. Dan yang lebih parah lagi metode kebut Unas ini menjadikan ilmu yang ada pada siswa tidak akan bertahan lama, alias mudah lupa. Sedangkan bencana penuntut ilmu adalah lupa.
Kedua, kita lebih bangga dengan style dan gengsi daripada skill. Dengan adanya kasus-kasus pencurian dan pembocoran soal Unas yang dimaksudkan untuk meluluskan para peserta didik sehingga sekolah tersebut menjadi ternama dan terkenal dengan kualitasnya tanpa ada feedback yang bagus dalam esensinya, maka sekolah tersebut tak beda dengan tong kosong. Dengan kata lain, terjadai pembodohan pada siswa, wali murid, serta birokrasi sekolah oleh nama sekolah yang mencuat tinggi.
Ketiga, kita selalu tidak mau mengakui kelemahan dan kekurangan kita.Salah satu tujuan diadakannya ujian bagi para siswa adalah sebagai ukuran dari apa yang sudah dikuasai, dan apa yang belum dikuasai dari pelajaran yang mereka dapatkan. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam ujian pasti ada kecurangan-kecurangan untuk memberi persepsi pada orang lain bahwa mereka pandai. Tidak mngakui kekurangan yang ada pada diri mereka sangat penting sekali untuk berinstropeksi diri, guna membangun masa depan cerah. Kelemahan-kelemahan kita saja tidak tahu dan tidak mau tahu, bagaimana kita akan melangkah kedepan yang penuh dengan halangan merintang?.
Keempat, masih lemahnya pendidikan kita. Meski standarisasi nilai ujian nasional masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara lain tapi masih saja ada kecurangan untuk mencapai standarisasi tersebut.
Keempat kebudayaan buruk kita diatas adalah sumber pemicu kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dikalangan civitas akademik seluruh lembaga-lembaga pendidikan. Entah itu pada tingkat sekolah maupun universitas.Bahkan ujian dalam calon PNS juga tak kalah ricuhnya dengan ujian nasional pada sekolah-sekolah. Kita jadi teringat kasus pembunuhan adik kakak (junior-senior) dikampus IPDN jatinagor Sumedang beberapa minggu lalu. Bahwa sudah nyata bukti kekerasan hukum rimba dalam kampus tersebut, tapi tak satupun mahasiswa (praja) maupun pihak birokrat yang mengakuinya, melainkan selainkan seorang dosen Inu Kencana. Hal ini merupakan kemunafikan yang absurd dan yang lebih disayangkan lagi mereka adalah calon pemimpin kita.
Memerangi biang kerok kericuan Unas sama dengan memerangi budaya kita sendiri. Kebudayaan yang sudah mendarah daging ditubuh kita, memerlukan usaha yang keras dan waktu yang cukup lama untuk merubahnya. Tak semudah membalikkan telapak tangan.
Betapapun sulit merubah kebudayaan, tapi setidaknya kita bisa menekannya hingga seminimal mungkin, misalnya dengan undang-undang tertentu yang cukup memberatkan tapi lumayan menyembuhkan. Dengan sanksi-sanksi yang berat, contoh barang siapa yang berusaha merusak kerahasiaan soal unas maka ia dipenjara bukan hanya lima tahun tapi 10 tahun penjara. Begitu juga dengan siswa yang ketahuan mencontek meski satu nomer, maka ia dinyatakan tidak lulus unas. Bila perlu kita kerahkan pihak militer dengan ketegasan dengan ketegasan dan disiplin mereka dalam pelaksanaan Unas tanpa ikut campur pihak sekolah.
Meski agak ekstrim tapi ini demi generasi bangsa kita dan demi visi dan misi kita bersama. Yang pasti unas harus tetap berlanjut untuk menstandarisasikan kemampuan-kemampuan para calon pembawa bangsa kita.
Semua yang tersebut diatas adalah gambaran-gambaran pendidikan kita. Gambaran-ganbaran out put generasi bangsa kita, bangsa Indonesia. Dikuatkan lagi dengan beberapa kericuhan yang terjadi pada waktu pra Unas maupun pada hari pelaksanaan Unas tingkat SMU tahun 2007 ini. Diantaranya, pencurian soal Unas oleh Kasek beserta rekan-rekannya, yang kesemuanya dari SMK PGRI 4 Ngawi (Surya, 21/4). Insiden tersebut semakin memperkeruh citra pendidikan kita. Bagaimana tidak, guru dan Kepala Sekolah yang seharusnya menjadi teladan dan panutan siswa, merencanakan dan melakukan pencurian soal Unas secara bersama-sama yang dimaksudkan untuk mengentaskan ketidaklulusan siswa.dan mengangkat nama baik sekolahnya tanpa dibarengi dengan esensi yang baik.
Pada kasus yang lain, pengroyokan oleh para siswa SMA 2 pasca Unas pada pengawasnya Sri Handayani dari SMA 1 Tanggul Jember (Jawa pos, 19/4). Kejadian ini dilatar belakangi oleh ketatnya penjagaan Unas oleh pengawas. Keketatan ekstra dalam pengawasan Unas ini memunculkan kekesalan siswa yang membuat mereka mengamuk dan memecahi kaca.
Sebenarnya yang dilakukan oleh Sri Handayani salah satu pengawas, sangat baik. Karena ia menjalankan tugas sesuai prosedur termasuk cara pembagian soal, absensi peserta Unas dan pengawasan yang sportif. Akan tetapi, dibalik kedisiplinan itu tidak dilandasi dengan jiwa yang ikhlas, melainkan karena persaingan ketat antara SMA 1 dan SMA 2 Tanggul sehingga guru SMA 1 mengawasi SMA 2 dengan berlebihan (Surya, 20/4). Bukan dari nurani seorang guru yang mencerdaskan, tapi malah melemahkan. Dan mungkin masih banyak kericuhan-kericuhan yang belum tercover dalam media.
Lantas yang menjadi tanda tanya besar bagi kita adalah “Apa yang salah?” sehingga setiap pelaksanaan Unas selalu ada catatan hitam kecurangan dan kericuhan di dalamnya. Jika kita analisa setidak-tidaknya terdapat empat penyebab ketidakberesan dalam menyambut dan pelaksanaan serta pasca Unas ini yang kesemuanya bersumber dari budaya kita sendiri.
Pertama, kurangnya kita dalam menghargai sebuah proses. Dengan maraknya les privat menyebabkan para siswa lebih menanggungkan pelajarannya pada les tersebut. Sehingga mereka sering menyepelekan proses belajar di sekolah selama tiga tahun. Tak jarang juga para guru privat mengajarkan pada siswa penyiasata rumus-rumus yang panjang hingga menjadi pendek dan mudah tanpa mengajarkan alur rumus sebenarnya. Hal ini menjadikan siswa lebih senang mengerjakan sesuatu dengan instan tanpa berusaha dan berkerja keras yang berpengaruh pada masa dewasa kelak. Dan yang lebih parah lagi metode kebut Unas ini menjadikan ilmu yang ada pada siswa tidak akan bertahan lama, alias mudah lupa. Sedangkan bencana penuntut ilmu adalah lupa.
Kedua, kita lebih bangga dengan style dan gengsi daripada skill. Dengan adanya kasus-kasus pencurian dan pembocoran soal Unas yang dimaksudkan untuk meluluskan para peserta didik sehingga sekolah tersebut menjadi ternama dan terkenal dengan kualitasnya tanpa ada feedback yang bagus dalam esensinya, maka sekolah tersebut tak beda dengan tong kosong. Dengan kata lain, terjadai pembodohan pada siswa, wali murid, serta birokrasi sekolah oleh nama sekolah yang mencuat tinggi.
Ketiga, kita selalu tidak mau mengakui kelemahan dan kekurangan kita.Salah satu tujuan diadakannya ujian bagi para siswa adalah sebagai ukuran dari apa yang sudah dikuasai, dan apa yang belum dikuasai dari pelajaran yang mereka dapatkan. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam ujian pasti ada kecurangan-kecurangan untuk memberi persepsi pada orang lain bahwa mereka pandai. Tidak mngakui kekurangan yang ada pada diri mereka sangat penting sekali untuk berinstropeksi diri, guna membangun masa depan cerah. Kelemahan-kelemahan kita saja tidak tahu dan tidak mau tahu, bagaimana kita akan melangkah kedepan yang penuh dengan halangan merintang?.
Keempat, masih lemahnya pendidikan kita. Meski standarisasi nilai ujian nasional masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara lain tapi masih saja ada kecurangan untuk mencapai standarisasi tersebut.
Keempat kebudayaan buruk kita diatas adalah sumber pemicu kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dikalangan civitas akademik seluruh lembaga-lembaga pendidikan. Entah itu pada tingkat sekolah maupun universitas.Bahkan ujian dalam calon PNS juga tak kalah ricuhnya dengan ujian nasional pada sekolah-sekolah. Kita jadi teringat kasus pembunuhan adik kakak (junior-senior) dikampus IPDN jatinagor Sumedang beberapa minggu lalu. Bahwa sudah nyata bukti kekerasan hukum rimba dalam kampus tersebut, tapi tak satupun mahasiswa (praja) maupun pihak birokrat yang mengakuinya, melainkan selainkan seorang dosen Inu Kencana. Hal ini merupakan kemunafikan yang absurd dan yang lebih disayangkan lagi mereka adalah calon pemimpin kita.
Memerangi biang kerok kericuan Unas sama dengan memerangi budaya kita sendiri. Kebudayaan yang sudah mendarah daging ditubuh kita, memerlukan usaha yang keras dan waktu yang cukup lama untuk merubahnya. Tak semudah membalikkan telapak tangan.
Betapapun sulit merubah kebudayaan, tapi setidaknya kita bisa menekannya hingga seminimal mungkin, misalnya dengan undang-undang tertentu yang cukup memberatkan tapi lumayan menyembuhkan. Dengan sanksi-sanksi yang berat, contoh barang siapa yang berusaha merusak kerahasiaan soal unas maka ia dipenjara bukan hanya lima tahun tapi 10 tahun penjara. Begitu juga dengan siswa yang ketahuan mencontek meski satu nomer, maka ia dinyatakan tidak lulus unas. Bila perlu kita kerahkan pihak militer dengan ketegasan dengan ketegasan dan disiplin mereka dalam pelaksanaan Unas tanpa ikut campur pihak sekolah.
Meski agak ekstrim tapi ini demi generasi bangsa kita dan demi visi dan misi kita bersama. Yang pasti unas harus tetap berlanjut untuk menstandarisasikan kemampuan-kemampuan para calon pembawa bangsa kita.
Iklan